Satu tahun yang lalu saat aku
berpikir tentang masa depan, sejenak terpikir untuk mengikuti jejak seseorang.
Sesaat ada hasrat ingin bersamanya disana, karena aku tidak ingin kehilangan
dia lagi. Ya, rasanya naif saat berbicara tentang masa depan tetapi kamu lebih
mementingkan nafsu. Perlahan namun pasti aku meyakinkan diriku sendiri untuk
mengambil keputusan itu. Mimpiku dipenuhi angan untuk segera bersama dia
disana. Alangkah indahnya bila hariku hanya dipenuhi olehnya, alangkah
senangnya bila aku dapat bertemu dia kembali. Mulai hari itu aku
mendeklarasikan diriku untuk mengikuti jejaknya. Tanpa berpikir panjang memang,
tanpa berkonsultasi kepada kedua orangtua. Tapi pikirku, jika ini keputusanku
pastilah kedua orangtuaku merestui pilihanku ini.
Ternyata tidak. Saat aku
membicarakan masa depanku dengan kedua orangtuaku, mereka tidak merestui
mimpiku. Aku jatuh. Impianku menguap. Diam-diam aku menangisi sikap kedua
orangtuaku. Ternyata alasannya adalah jarak. Disana aku tidak ada saudara,
kedua orangtuaku khawatir jika terjadi apa-apa. Sejak saat itu aku mulai
menyusun kembali impianku yang sempat menguap. Aku meneguhkan hati untuk
menerima segala keputusan. Bagaimanapun restu orangtua adalah yang paling
utama, dan ketika impianmu tidak direstui kamu bisa apa?
Aku mulai berpikir,
dulu disaat keinginanku menggebu sejatinya apa yang aku inginkan? Menjemput
masa depan dengan adanya dia disampingku atau hanya karena nafsu sesaat yang
muncul karena aku ingin memilikinya. Nampaknya jawaban itu sudah jelas. Dulu
tanpa berpikir panjang aku memutuskan sesuatu, hanya menuruti nafsu tanpa
memikirkan tujuan. Sekarang saat kenyataan berbicara, aku mungkin kecewa tapi
aku bersyukur karena aku belum terlampau jauh melangkah.
Aku mencintai dia yang disana.
Dulu aku berbuat kesalahan yang membuat dia pergi jauh. Sekarang saat
kesempatan memperbaiki itu ada garis Tuhan lah yang berbicara. Sekarang aku
mengerti definisi ‘mencintai’ yang lain. Mencintai artinya merelakan. Bukan,
bukan pasrah. Ini lebih kepada disaat dua orang insan yang saling ‘mencintai’
tetapi sudah tidak bisa disatukan karena suatu hal. Oleh karena hal itu salah
satu diantara mereka harus ada yang merelakan, hanya kata-kata ini patokan
mereka : “Kalau jodoh nggak kemana kok.” “Kalau jodoh pasti bertemu.” Simple
sih tapi aku sangat percaya akan hal itu. Aku banyak belajar akan
kisah ini. Mungkin sekarang Tuhan sedang menggariskan bahwa aku dan dia harus
menempuh jalan masing-masing. Mungkin Tuhan ingin aku belajar mengikhlaskan. Mungkin
kami harus seperti ini dulu sampai saatnya kami dapat bersama. Atau mungkin
saja Tuhan ingin menyampaikan bahwa kami tidak berjodoh sedari awal.
Sampai detik ini aku
bersyukur pernah ada dia di perjalanan hidupku. Terimakasih telah mengajarkanku
artinya mengikhlaskan. Terimakasih telah menjadi sosok motivator bagiku. Semoga
aku bisa sukses sepertimu menjalani masa depan, walaupun aku tahu tidak ada
kamu disampingku.